TIMES PURWAKARTA, JAKARTA – Cerita pilu tentang para ibu yang kehilangan hak asuh anak usai perceraian menjadi perhatian serius Anggota Komite III DPD RI, Lia Istifhama. Senator asal Jawa Timur yang akrab disapa Ning Lia ini menegaskan, perempuan bukan sekadar alat untuk melahirkan keturunan.
Dalam rapat kerja Komite III DPD RI bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ning Lia menekankan pentingnya memperjuangkan hak asuh anak, terutama yang masih bayi, balita, atau kanak-kanak, agar tetap berada dalam pengasuhan ibu kandung.
"Perceraian pasti berdampak pada kondisi psikologis anak. Ketika ikatan batin antara ibu dan anak terputus, atau hak asuh ibu kandung dicabut, itu merupakan bentuk ketidakadilan sosial terhadap perempuan," ujar Ning Lia kepada TIMES Indonesia, Minggu (27/4/2025).
Dalam kesempatan itu, Ning Lia meminta Menteri PPPA, Arifatul Khairi Fauzi, untuk memperhatikan kasus hak asuh anak korban perceraian. Ia berharap anak-anak yang masih di bawah umur tetap diasuh oleh ibu kandungnya.
"Maraknya perceraian yang menyebabkan anak terpisah dari ibu kandungnya menjadi masalah sosial yang perlu mendapat perhatian. Apakah KemenPPPA memiliki langkah konkret untuk memastikan anak tetap di bawah asuhan ibu atau setidaknya memiliki akses bebas untuk bertemu dengan ibunya?" tanyanya.
Menurut Ning Lia, keprihatinan ini berangkat dari banyaknya kasus di mana seorang istri diceraikan dalam usia pernikahan yang masih muda, dengan anak-anak yang masih sangat kecil, namun hak asuh justru jatuh ke tangan mantan suami. Tak jarang, akses ibu untuk bertemu anak juga sangat terbatas.
"Ini jelas tidak adil, apalagi jika perceraian itu tanpa alasan jelas dan tidak ditemukan kesalahan dari pihak istri," ungkap Ning Lia.
Ia menyesalkan pandangan sempit yang menganggap perempuan hanya sebagai mesin penghasil keturunan.
"Perempuan dinikahi karena cinta, bukan sekadar untuk melahirkan anak. Jika hanya untuk memiliki keturunan lalu menceraikan istri tanpa alasan jelas, itu penghinaan terhadap perempuan, bahkan terhadap ibu kandung dari suami itu sendiri," tegas Ning Lia.
Sebagai senator, Ning Lia berkomitmen memperjuangkan hak asuh anak agar tetap berada di tangan ibu kandung. Ia menilai perempuan memiliki naluri keibuan yang kuat dan kasih sayang yang tulus.
"Kalaupun ada perempuan yang dinilai egois dalam membina rumah tangga, jumlahnya sangat sedikit. Sebagian besar perempuan sangat mudah luluh oleh cinta dan perhatian yang tulus," tambahnya.
Menurut Ning Lia, perempuan yang bercerai pun umumnya tidak ingin memisahkan anak dari ayahnya. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mencegah perempuan menjadi korban ganda: dikhianati dalam pernikahan dan dipisahkan dari anak kandungnya.
Lebih jauh, Ning Lia menyoroti kasus-kasus publik seperti Paula Verhoeven dan Tsania Marwa yang mengalami kesulitan untuk bertemu dengan anak-anak mereka pasca perceraian.
"Dari pemberitaan di infotainment dan media sosial, kita bisa melihat betapa hancurnya perasaan seorang ibu yang dipisahkan dari anak yang dilahirkannya. Bahkan, ada anak yang akhirnya enggan bertemu ibunya sendiri. Ini sangat berbahaya bagi perkembangan moral anak," jelas Ning Lia.
Ia menegaskan bahwa tidak ada pihak yang diuntungkan dari upaya meracuni pikiran anak untuk membenci ibu kandungnya.
"Ini bukan hanya penghinaan terhadap perempuan yang pernah dinikahi secara sah, tapi juga terhadap seluruh perempuan. Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi seperti ini harus dihentikan. Sebab, kemajuan bangsa sangat bergantung pada kasih sayang dan pendidikan yang ditanamkan ibu kepada anaknya," pungkas Ning Lia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Soroti Hak Asuh Anak dalam Perceraian, Lia Istifhama Perempuan Bukan Sekadar Alat Melahirkan
Pewarta | : Rudi Mulya |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |